Selasa, 26 Agustus 2014

Provisi Pendidikan Bagi Si Miskin



‘Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.’ Pernyataan Nelson Mandela tersebut sepertinya tidak berlaku bagi bangsa Indonesia. Sungguh ironis, wajah pendidikan Indonesia yang kian memampangkan diskrepansi yang semakin luas telah menelantarkan para kaum terbuang dan kaum tersamping. Pendidikan yang sejatinya menjadi suatu proses pemberdayaan yang berkelanjutan, kini hanya menjadi alat penyaluran pengetahuan (knowledge transferring tool). Mungkin banyak diantara kalian yang sering mendengar tentang pendidikan sebagai investasi jangka panjang. Hal ini tidaklah salah secara harfiah, namun penyelewengan interpretasi telah berkembang di berbagai golongan masyarakat dewasa ini. Investasi yang tadinya mengandung kompleksitas makna atas ilmu, akhlak dan moral, kini telah berubah haluan menjadi sebuah makna materi yang harus dikejar sesuai prinsip ekonomi yang mengontrol dunia. Begitulah wajah pendidikan saat ini, tidak hanya di negara-negara miskin tetapi juga di negara-negara barat yang telah sangat maju dan terstruktur.
Di Indonesia sendiri, pengaturan akan pendidikan sebagai hak seluruh umat manusia tanpa pandang bulu telah tercantum dalam tatanan hukum tertinggi negara ini, yakni UUD 1945 setelah amandemen pada BAB XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan serta BAB XA tentang Hak Asasi Manusia.[1] Penetapan itu telah mengacu pada kesepakatan masyarakat internasional tahun 2000 di bawah pimpinan UNESCO.[2] Sebaliknya, kenyataan dari implementasi di lapangan mengindikasikan hal yang bertolak-belakang. Masalah-masalah ketidakmampuan untuk menempuh pendidikan akibat alasan finansial dan ekonomi yang terbatas masih bertebaran di setiap sisi sudut wilayah. Lalu apa yang menjadi penyebab utama fenomena ini? Materialisme-kapitalis-lah jawabannya. Tanpa dipungkiri, arus globalisasi yang membawa banyak dampak positif ini telah merubah tatanan sistem penghidupan secara signifikan. Kewajiban negara dalam hal jaminan dan garansi tersedianya pendidikan gratis bagi anak bangsa telah diselimuti oleh kepentingan golongan yang memandang daerah ini sebagai potensi lumbung uang. Alhasil, privatisasi menjadi sebuah fenomena yang tak terbendung lagi. Kini, pendidikan telah menjadi basis investasi dalam perolehan keuntungan yang sesuai dengan prinsip kapitalisme ekonom, dengan besarnya jumlah yang dikeluarkan untuk fasilitas dan ilmu terbaik, pekerjaan di masa mendatang akan menjadi lebih terjamin sehingga modal awal dapat tertutupi bahkan terlampaui. Pola pikir seperti ini telah berhasil melahirkan rentetan gedung-gedung mewah sekolah dan universitas di kota-kota besar yang dibarengi fasilitas serta teknologi super canggih untuk mempersiapkan kualitas pelajar dan mahasiswa yang unggul ketika berada di dunia kerja nantinya. Sebagai konsekuensi, mereka yang tidak memiliki modal tidak akan dapat memperoleh kesempatan yang sama. Inilah awal mula kebangkitan komersialisasi pendidikan di Indonesia serta pemicu semakin lebarnya jarak antara si kaya dan si miskin. Akibatnya, kuasa pemerintah semakin meredup dan pemerintah akhirnya hanya akan menstempel cap ‘gagal’ dalam laporan program tahunan mereka.
Pemerintah telah menyebar pesona dalam program-program pencitraannya yang sangat bagus dan ber-prospek. Namun nyatanya, masyarakat tetap menjadi korban pembualan janji-janji manis itu. Lihat saja program pendidikan paling mendasar seperti wajib belajar sembilan tahun. Tidak hanya swasta, bahkan instansi pendidikan negeri juga banyak yang tidak mampu diperoleh oleh para kaum miskin akibat biaya yang masih diatas standar pendapatan mereka. Pungutan-pungutan ilegal juga semakin marak terjadi oleh guru-guru yang tidak bertanggung jawab dengan mempermainkan nilai anak didik ataupun sogokan-sogokan dengan jumlah tertentu untuk dapat masuk ke dalam sekolah favorit yang dipersiapkan hanya untuk mencari pekerjaan kelak. Penyelewengan persepsi menjadi semakin mewabah dan esensi pendidikan menjadi sepenuhnya punah. Maka tidak jarang banyak orang yang menempuh sebuah prodi hanya karena paksaan orang tua tanpa gairah serta keinginan besar terhadap apa yang digemari.
Pemerintah sebagai pemegang entitas tertinggi sudah sepatutnya bergerak cepat dalam menyadari akar persoalan dan kemudian mencari jalan keluar permasalahan ini jika mereka memang mengkehendaki perbaikan bangsa ke arah yang lebih baik. Amanat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dimana pendidikan bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa harus segera diwujudkan secara riil. Dalam hal ini, prinsip nirlaba sudah semestinya menjadi roh dalam penyelenggaraan pendidikan nasional sebab pendidikan bukanlah suatu bisnis, ia adalah aset bangsa yang menjadi hak setiap warganya. Maka pemerintah harus menggelontorkan dana efektif, terlepas dari 20% jatah APBN tahunan, dalam eksekusi pengawasan dan pendirian baik instansi pendidikan swasta maupun negeri agar pendidikan tersebut benar-benar dapat diakses oleh masyarakat dari golongan manapun.[3]       


[1] http://www.leimena.org/id/page/v/750/kenali-hak-dan-tanggung-jawab-anda-hak-untuk-mendapat-pendidikan-4
[2] http://www.dw.de/semua-orang-berhak-peroleh-pendidikan/a-15933863
[3] http://20319708.siap-sekolah.com/2013/09/06/komersialisasi-pendidikan-di-indonesia/#.U-q5b2PvZSE

The Disposition of Pancasila as an Ideology



            Pancasila occurs representing the lineament, identity and nation’s characteristic which is unique and divergent. This ideology is not yielded through hegemony power enforcement, yet it is the proceed of national and state consciousness which is formulized through profound assessment by our founding father. Accordingly, this ideology should be assigned in the state that adopts socialism and liberalism political philosophy.
            Initially, outset description about both socialism and liberalism will be provided so that explicit and unmistakable analysis in regards of the placement can be genuinely conducted. Socialism accentuates in fairness and social equality which will take the role of discrepancy resolution involving poverty, mass unemployment, indebtedness as well as health care absence.[1] Thus, I depict socialism resembling toward anti-capitalism. In this case, socialism is the positioning and conditioning of the obliteration of elite enrichment, that is easily found in totalitarian state system, to be replaced with people-oriented services as the extension of proper and decent democracy. These outcomes synchronize with the accomplishment of the second and fifth Pancasila principles which emphasize on social justice and righteousness combined with civilized human being. Meanwhile, liberalism serves the reflection of liberty and freedom as the right of democratic nations, embroiling religions, tribes, cultures, professions, educations and interests. This is the point where the first Pancasila principle elucidates its intention of possessing a belief in God by acknowledging diverse religions as part of multiculturalism. However, liberalist countries also utilize confined instrument, justified limitation that is embodied by constitution and regulations, in order to preserve orderliness and structural of a nation in the sake of welfare and weal. This justification is the substantiation of the fourth principle contained in Pancasila where consultative and representative are applied in the form of legislative, executive and judicial. Lastly, the third principle of unity refers to the idealistic nationalism that is virtually possessed by all systems namely totalitarian, communism, socialism, liberalism, libertarianism as well as anarchism.
            Indonesia by its Pancasila ideology complies with the principle of justice in liberalism that is triggered by John Rawls stating that each person is to have an equal right to the most extensive system of equal basic liberty compatible with a similar system for all.[2] This principium is concomitant with Pancasila pillars of such ideas consisting of free and fair elections, civil rights, freedom of the press, freedom of religion, free trade and right to life, liberty and property.[3] Indonesia is the most impeccable instance of pluralism procurement by immersing ‘Unity in Diversity’ (Bhinneka Tunggal Ika) as the amalgamation of Pancasila reflection as anthropology values. In this term, socialist provides human nature as social creature whilst liberalist provides human nature as individual creature. Countries that absorb Pancasila set the requirement of a life fellowship called state, consequently, the right tendency state systems ranging from libertarianism that is less significant in the government advocacy until anarchism by the absence of government cannot be categorized in implementing Pancasila values. Similarly, the striking left tendency will restrain and harness the principle of equality and justice which is conversely contradict with Pancasila values. In conclusion, rendering to idealistic, normative and realistic dimension, Pancasila values are the principles of socialism and liberalism unification.


[1] Socialist Equality Party, Why Socialism (online), < http://socialequality.com/about/socialism >, accessed on August 26, 2014.
[2] Stanford Encyclopedia of Philosophy, The Presumption in Favor of Liberty (online), November 28, 1996, < http://plato.stanford.edu/entries/liberalism/ >, accessed on August 26, 2014. 
[3] Stack Exchange, What is the difference between liberalism and libertarianism? (online), December 10, 2012, < http://politics.stackexchange.com/questions/353/what-is-the-difference-between-liberalism-and-libertarianism >, August 26, 2014.