‘Education
is the most powerful weapon which you can use to change the world.’ Pernyataan
Nelson Mandela tersebut sepertinya tidak berlaku bagi bangsa Indonesia. Sungguh
ironis, wajah pendidikan Indonesia yang kian memampangkan diskrepansi yang
semakin luas telah menelantarkan para kaum terbuang dan kaum tersamping.
Pendidikan yang sejatinya menjadi suatu proses pemberdayaan yang berkelanjutan,
kini hanya menjadi alat penyaluran pengetahuan (knowledge transferring tool).
Mungkin banyak diantara kalian yang sering mendengar tentang pendidikan sebagai
investasi jangka panjang. Hal ini tidaklah salah secara harfiah, namun
penyelewengan interpretasi telah berkembang di berbagai golongan masyarakat dewasa
ini. Investasi yang tadinya mengandung kompleksitas makna atas ilmu, akhlak dan
moral, kini telah berubah haluan menjadi sebuah makna materi yang harus dikejar
sesuai prinsip ekonomi yang mengontrol dunia. Begitulah wajah pendidikan saat
ini, tidak hanya di negara-negara miskin tetapi juga di negara-negara barat
yang telah sangat maju dan terstruktur.
Di
Indonesia sendiri, pengaturan akan pendidikan sebagai hak seluruh umat manusia
tanpa pandang bulu telah tercantum dalam tatanan hukum tertinggi negara ini,
yakni UUD 1945 setelah amandemen pada BAB XIII tentang Pendidikan dan
Kebudayaan serta BAB XA tentang Hak Asasi Manusia.[1]
Penetapan itu telah mengacu pada kesepakatan masyarakat internasional tahun
2000 di bawah pimpinan UNESCO.[2]
Sebaliknya, kenyataan dari implementasi di lapangan mengindikasikan hal yang
bertolak-belakang. Masalah-masalah ketidakmampuan untuk menempuh pendidikan
akibat alasan finansial dan ekonomi yang terbatas masih bertebaran di setiap
sisi sudut wilayah. Lalu apa yang menjadi penyebab utama fenomena ini?
Materialisme-kapitalis-lah jawabannya. Tanpa dipungkiri, arus globalisasi yang
membawa banyak dampak positif ini telah merubah tatanan sistem penghidupan
secara signifikan. Kewajiban negara dalam hal jaminan dan garansi tersedianya pendidikan
gratis bagi anak bangsa telah diselimuti oleh kepentingan golongan yang
memandang daerah ini sebagai potensi lumbung uang. Alhasil, privatisasi menjadi
sebuah fenomena yang tak terbendung lagi. Kini, pendidikan telah menjadi basis
investasi dalam perolehan keuntungan yang sesuai dengan prinsip kapitalisme
ekonom, dengan besarnya jumlah yang dikeluarkan untuk fasilitas dan ilmu
terbaik, pekerjaan di masa mendatang akan menjadi lebih terjamin sehingga modal
awal dapat tertutupi bahkan terlampaui. Pola pikir seperti ini telah berhasil
melahirkan rentetan gedung-gedung mewah sekolah dan universitas di kota-kota
besar yang dibarengi fasilitas serta teknologi super canggih untuk
mempersiapkan kualitas pelajar dan mahasiswa yang unggul ketika berada di dunia
kerja nantinya. Sebagai konsekuensi, mereka yang tidak memiliki modal tidak
akan dapat memperoleh kesempatan yang sama. Inilah awal mula kebangkitan
komersialisasi pendidikan di Indonesia serta pemicu semakin lebarnya jarak
antara si kaya dan si miskin. Akibatnya, kuasa pemerintah semakin meredup dan
pemerintah akhirnya hanya akan menstempel cap ‘gagal’ dalam laporan program
tahunan mereka.
Pemerintah
telah menyebar pesona dalam program-program pencitraannya yang sangat bagus dan
ber-prospek. Namun nyatanya, masyarakat tetap menjadi korban pembualan
janji-janji manis itu. Lihat saja program pendidikan paling mendasar seperti
wajib belajar sembilan tahun. Tidak hanya swasta, bahkan instansi pendidikan
negeri juga banyak yang tidak mampu diperoleh oleh para kaum miskin akibat
biaya yang masih diatas standar pendapatan mereka. Pungutan-pungutan ilegal
juga semakin marak terjadi oleh guru-guru yang tidak bertanggung jawab dengan
mempermainkan nilai anak didik ataupun sogokan-sogokan dengan jumlah tertentu untuk
dapat masuk ke dalam sekolah favorit yang dipersiapkan hanya untuk mencari
pekerjaan kelak. Penyelewengan persepsi menjadi semakin mewabah dan esensi
pendidikan menjadi sepenuhnya punah. Maka tidak jarang banyak orang yang
menempuh sebuah prodi hanya karena paksaan orang tua tanpa gairah serta
keinginan besar terhadap apa yang digemari.
Pemerintah
sebagai pemegang entitas tertinggi sudah sepatutnya bergerak cepat dalam
menyadari akar persoalan dan kemudian mencari jalan keluar permasalahan ini
jika mereka memang mengkehendaki perbaikan bangsa ke arah yang lebih baik.
Amanat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dimana pendidikan bertugas
mencerdaskan kehidupan bangsa harus segera diwujudkan secara riil. Dalam hal
ini, prinsip nirlaba sudah semestinya menjadi roh dalam penyelenggaraan
pendidikan nasional sebab pendidikan bukanlah suatu bisnis, ia adalah aset
bangsa yang menjadi hak setiap warganya. Maka pemerintah harus menggelontorkan
dana efektif, terlepas dari 20% jatah APBN tahunan, dalam eksekusi pengawasan
dan pendirian baik instansi pendidikan swasta maupun negeri agar pendidikan
tersebut benar-benar dapat diakses oleh masyarakat dari golongan manapun.[3]